Random Thoughts on Gadis Minimarket (Bukan Review)

"Ternyata buku panduan hidup memang sudah ada. Panduan itu menempel dalam pikiran semua orang dan tak dianggap perlu dituliskan. Sekarang aku paham bahwa bentuk 'manusia normal' tak pernah beruah sejak Zaman Jomon"  (Sayaka Murata: 98)

Aku merasa sedih setelah sampai pada kutipan itu dan berpikir, oh jadi seperti itu, pada dasarnya seluruh orang di dunia ini dituntut untuk jadi normal. Masalahnya, standar kenormalan itu yang seperti apa? Apakah orang-orang yang mampu menyelesaikan sekolah wajibnya selama 12 tahun? Apakah orang yang setelah lulus SMA lalu kuliah? Apakah orang yang lulus kuliah lalu langsung mendapat pekerjaan? Atau apakah orang yang makan mi menggunakan garpu bukannya sendok? 

Kalau seperti itu, berarti orang yang menghabiskan waktu lebih dari 12 tahun untuk bersekolah, 14 tahun misalnya, menunggak 2 tahun, orang seperti itu tidak normal? Banyak orang yang memilih untuk berhenti satu tahun setelah lulus SMA (gap year) atau bekerja, atau mengurus orang tua, atau tidak melakukan apa-apa, mereka ini... juga tidak normal? 

Siapa sebenarnya yang menetapkan standar kenormalan? Boleh nggak sih sebenarnya, kalau kita tidak menjadikan standar yang ada di masyarakat sebagai standar kita sendiri?

Keiko Furukawa, nama tokoh utama yang disebut-sebut sebagai si Gadis Minimarket. Dia dianggap tidak normal oleh orang-orang disekitarnya. Kalau saya boleh tafsirkan dari sikap dan perkataan mereka, Keiko dianggap sebagai seseorang yang tidak memiliki emosi, dia selalu memakai logikanya untuk menimbang berbagai hal. Diceritakan ketika ia masih bersekolah, teman sekelasnya berkelahi. Menurut pemahaman Keiko, cara tercepat untuk membuat keduanya berhenti berkelahi adalah dengan memukul kedua kepala temannya mengunakan sekop. Maka dipukullah kedua kepala temannya. Benar saja, perkelahian antar keduanya berhenti. Begitu pula saat seorang guru perempuan muda berteriak histeris sambil memukul-mukul meja. Seisi kelas memintanya untuk berhenti, namun sama sekali tidak digubris oleh guru tersebut. Keiko pernah melihat di TV seorang perempuan langsung terdiam saat ditelanjangi. Akhirnya dengan semangat ia maju dan menarik rok gurunya, dan benar juga, guru itu terkesiap dan akhirnya berhenti marah-marah.

Setelah kejadian-kejadian itu, orang tuanya menjadi sangat sedih atas apa yang dilakukannya. Keiko benar-benar tidak mengerti mengapa orang tuanya bersedih. Apakah yang kulakukan salah? Aku kan hanya ingin menolong. Setelah itu Keiko membatasi dirinya untuk berbuat apapun, Ia memilih diam kecuali orang lain memintanya untuk melakukan sesuatu. Keiko menjadi kehilangan kendali atas dirinya.

Di sini saya berpikir bagaimana seseorang yang melakukan tindakan yang dianggap tidak normal akan mudah sekali tersingkir dalam masyarakat. Yang tidak normal akan dibuang.

Selanjutnya yang saya tangkap dari kisah Keiko, dia akhirnya mencari 'pedoman hidup normal' versinya yang ia temukan di sebuah minimarket. Bukan, bukan buku panduan atau semacamnya yang ia temukan. Selama 18 tahun ia mengikatkan dirinya dengan minimarket, 'berperan' sebagai seorang pegawai paruh waktu. Namun lagi-lagi, bekerja paruh waktu selama 18 tahun tanpa mempunyai pekerjaan tetap menurut orang-orang disekitarnya adalah hal yang tidak normal, hal yang salah. Keiko menjadi bingung harus bagaimana lagi agar ia bisa tetap dianggap normal. Ia akhirnya menuruti kemauan orang lain untuk lepas dari minimarket dan mencari pekerjaan yang dianggap 'lebih baik'.

Bagaimana pada akhirnya? Apakah Keiko bisa kembali dianggap normal setelah melakukan apa yang orang lain tunjukkan kepadanya? Tidak. Tentu saja tidak, karena diri Keiko sudah di-setting sedemikian rupa hingga tidak ada standar hidup lain yang bisa menggantikan peran pegawai minimarket, pekerjaan yang membuatnya dapat menjadi manusia normal, aturan kasat mata yang dibuat manusia.

Comments