Well It's been months (but feel like years!) I didn't write anything here. I'm aware that since I move into my new uni, my new major, I only write for the sake of assignment, no assignment no write. But now, I forced myself to write some words because I feel bad for my brain cells. They always provide me something to write, or something to create, but feel like my laziness has been conquering me. So now, I'm gonna share one of the most tiring application that I tried to apply in April 2022. Cape juga nulis pake bahasa Inggris tanpa Grammarly. I don't know whether it's right or wrong but I hope you (the reader) ofc if there's any (get what i mean). Sekarang saya lagi mengusahakan to level up my producing skill-either writing or speaking. Simply, I want to write and speak English effortlessly. But not right now, not in this post.
Jadi.. abis daftar apa?
Pernah denger tentang IISMA? Salah satu program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang dibuat pemerintah. Program ini ngapain? Pergi ke luar negeri untuk kuliah beberapa bulan di salah satu universitas yang kita pilih. Yang bikin beasiswa ini sangat rame peminat adalah karena semuanya dibayarin, mulai dari biaya hidup, transport, kuliah, semua gratis. Tahun ini ada 7500-an applicants, yang diterima cuma 1000-an. You can imagine how hard the selection process is. For me, it's nearly more like a gambling.
1. Seleksi administrasi
Cerita mengurus surat-surat
Ada beberapa tahap seleksi yang perlu dilalui, yang pertama tahap administrasi, tahap awal yang paling ribet dan menguras pikiran, energi, dan duit. Recommendation letter dari fakultas dan univ, tiga macam surat pernyataan, sertifikasi bahasa Inggris, dan yang paling menguras otak: essays. Sebenernya nggak begitu ribet-ribet banget kalau dilihat dari itu aja (keliatannya), tapi seperti yang kita tahu untuk mengurus semua itu khususnya terkait surat-surat, saya perlu berurusan dengan akademik dari tingkat jurusan sampai fakultas. Dan seperti yang kita tahu juga, hal-hal yang menyangkut birokrasi kampus itu terlalu merepotkan. Contohnya, admin yang nggak responsif, e-mail yang sudah saya tulis dengan kehati-hatian tapi malah cuma dapat balasan beberapa patah kata yang bahkan huruf awalnya nggak pake kapital. Tapi saya berusaha maklum, mungkin mood-nya lagi jelek.
Tantangan lainnya buat saya yaitu perihal minta surat rekomendasi dari dosen (di atas nggak ditulis tapi dari kampus mensyaratkan hal ini agar dari tingkat univ bisa mengeluarkan surat rekomendasi). Saya... saya rasa tidak ada dosen yang benar-benar menyadari keberadaan saya karena saya orang yang tidak menimbulkan kesan apapun jadi rasanya agak aneh untuk meminta seorang dosen yang tidak mengenal saya untuk membuat surat rekomendasi tentang diri saya, mahasiswanya. Tapi, saya terbantu karena ada template-nya dan dosen yang saya mintai rekomendasi hanya mengiyakan saja tanpa bertanya macam-macam.
Bikin Paspor
Oiya, saya juga mau cerita tentang bagaimana ribetnya mengurus paspor karena kelalaian saya sendiri. Mungkin buat orang yang nggak lalai, nggak akan jadi ribet. Jadi, saya urus paspor di kantor imigrasi Cilacap, yang paling dekat dari rumah (sekitar 40 km). Saya dapat info bagaimana cara membuat paspor semuanya dari internet. Saya baca satu-persatu review dan cerita orang-orang tentang pengalamannya mengurus paspor; berapa biaya yang dikeluarkan, berkas-berkas apa saja yang perlu di bawa. Pokoknya pada saat itu saya sudah sangat percaya diri karena merasa well-prepared sampai saya abaikan peraturan yang jelas-jelas tertulis dalam surat pendaftaran paspor yang saya terima setelah membayar lewat aplikasi M-Paspor; di sana tertulis bahwa kita diHARUSkan membawa KTP dan surat-surat lainnya yang ASLI. Tapi, saya terlanjur memercayai tulisan orang lain yang membagikan pengalamannya bahwa kita hanya perlu membaca dokumen-dokumen fotokopian. Dan yang paling membuat saya agak kesal, mereka tidak menuliskan bahwa kertas yang dipakai harus A4. Saya yang waktu itu sudah berinisiatif memfotokopi dari rumah harus memfotokopi ulang di koperasi kantor imigrasi. Pertama kali dalam hidup saya pergi ke tempat fotokopian yang harga perlembarnya seribu rupiah. Lalu, karena saya nggak bawa dokumen asli, saya nggak boleh bikin paspor pada saat itu juga dan disuruh pulang. Jadi, total kunjungan saya ke kantor imigrasi adalah 3 kali dalam dua minggu: kunjungan 1 gagal, 2 mendaftar, 3 mengambil. Sangat melelahkan untuk bapak saya yang menyetir, saya tidak karena cuma duduk dan melihati jalan.
Comments
Post a Comment